![]() |
| Wedana Pertama Simeulue | Teuku Raja Mahmud |
Simeulue | Sejarah Bahasa Simolol Mengutip dari berbagai sumber literatur yang pernah
dipublikasikan sejarah penulisan tentang bahasa Simolol pernah beberapa kali
dilakukan. Jauh sebelum kamus ini disusun, para penulis berkebangsaan Belanda
dan Jerman telah lebih dahulu menyusun kamus tentang bahasa Simolol yang dalam
bahasa Belanda disebut “Bahasa Simaloer” dan dalam bahasa Jerman disebut
“Bahasa Simalur.” Kamus-kamus tersebut telah disusun dengan rapi dan
dicetak, di perpustakaan Universitas Hamburg dan Universitas Leiden.
Penyusunan
kamus tertua tentang bahasa di Simolol (Simaloer) yang pernah tercatat dalam
kajian literatur disusun Henri Titus Damste berkebangsaan Belanda sejak tahun
1916 yang berjudul Simaloereesche Texten.
Kemudian, glosarium kosa-kata Simaloer dalam jurnal yang telah dipublikasikan
Belanda dengan judul Aardrijkskundig woordenboek van Nederlandsch Oost-Indië tulisan Nijgh & Van Ditmar pada
tahun 1917. Selain itu, kamus yang lebih lengkap disusun
oleh Hans Kohler pada tahun 1961 berkebangsaan Jerman dengan judul Simalur Deutsches Worterbuch mit Deuts
Simaluresischem Worterverzeichnis. Henri Titus Damste dan Hans Kohler dalam
tulisannya menyebutkan nama bahasa mayoritas penduduk Simeulue dengan sebutan
bahasa Simaloer atau Simalur. Setelah itu, penyusunan kamus berikutnya
dilakukan oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan tahun 1981. Penulisan tentang bahasa Simeulue pada tahun 1981
dengan judul Struktur Bahasa Simeulue. Kemudian
tidak lama setelah penyusunan tentang Struktur Bahasa Simeulue penelitian
kembali dilakukan pada tahun 1983 oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dengan judul Morfologi dan Sintaksis Bahasa Simeulue.
Tulisan
ini termuat pemetaan bahasa di daerah Simeulue dengan rincian jumlah bahasa
secara umum terbagi dua yaitu daerah Tengah, Timur, dan Selatan menggunakan
bahasa yang disebut bahasa Simeulue atau Simaloer, kemudian daerah Barat
menggunakan bahasa yang biasa disebut dengan bahasa Sigulai atau Salang.
Penelitian selanjutnya pada tahun 1986 dengan judul Ragam dan Dialek Bahasa Aceh oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang merumuskan pemetaan bahasa
daerah di provinsi Aceh bahasa daerah Simeulue disebut dengan bahasa Simeulue
Timur, Tengah, dan Selatan serta bagian bahasa Simeulue Barat.
Penamaan
bahasa di pulau Simeulue secara garis besar berdasarkan kamus dan penelitian
terdahulu menyebutkan nama bahasa yang digunakan Kecamatan Simeulue Timur,
Simeulue Tengah, Simeulue Cut, Teupah Tengah, Teluk Dalam, Teupah Barat, Teupah
Selatan, dan daerah Leukon disebut dengan Bahasa Simeulue. Sementara bahasa
yang digunakan di daerah Kecamatan Simeulue Barat, Kecamatan Salang, dan
Kecamatan Alafan disebut dengan bahasa Sigulai.
Penelitian
terbaru tentang bahasa Simolol yang dilakukan oleh Muliana (Revitalisasi
Bahasa Simolol di Kabupaten Simeulue (Muliana, 2024). Penelitian ini telah
mendeskripsikan tentang keberadaan bahasa Simolol di- Kabupaten Simeulue, yang
fokus mengidentifikasi faktor yang mengancam kelestariannya, dan menjelaskan
upaya revitalisasi yang dilakukan masyarakat dan pemerintah terhadap bahasa
Simolol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bahasa Simolol terancam punah
akibat faktor dari dalam seperti kurangnya pewarisan bahasa oleh orang tua,
terbatasnya penggunaan di sekolah, dan gengsi sosial. Masyarakat telah berupaya
mempertahankan bahasa ini dengan menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari dan
membentuk komunitas penutur, namun upaya pemerintah masih minim.
Kesimpulan
penelitian ini adalah bahwa bahasa Simolol saat ini terancam punah dan perlu
upaya untuk mempertahankannya. Disarankan agar ada komitmen dari tokoh-tokoh
masyarakat, masyarakat penutur, dan pemerintah daerah Simeulue dalam
revitalisasi bahasa ini, kemudian segera melakukan tindakan pematenan untuk
mencegah kepunahan. Penelitian lanjutan tentang bahasa Simolol juga diperlukan
untuk memperkaya khazanah keilmuan. Salah satu upaya dilakukan untuk terus
mempertahankan eksistensi bahasa Simolol adalah dengan menyusun kamus dasar
tentang bahasa Simolol. Beberapa penelitian linguistik yang dilakukan terhadap
bahasa Simolol telah mengidentifikasi dan menganalisis aspek-aspek penting dari
bahasa ini, seperti fonologi (suara bahasa), morfologi (struktur kata),
sintaksis (struktur kalimat), dan semantik (makna kata). Sebagai contoh:
- Bahasa Simolol memiliki sistem fonem vokal dan
konsonan yang khas. Beberapa penelitian telah mengidentifikasi perbedaan
suara dan pola yang membedakan bahasa ini dari bahasa daerah lainnya di
daerah Aceh dan bahasa Melayu.
- Penelitian tentang kajian morfologi dalam
bahasa Simolol telah mengungkapkan bagaimana kata-kata dibentuk melalui
proses afiksasi dan reduplikasi, mirip dengan bahasa Aceh, namun dengan
pola yang berbeda dalam beberapa kasus.
Beberapa
studi juga mengamati struktur kalimat dalam bahasa Simolol, termasuk urutan
subjek, predikat, dan objek (SPO) dalam kalimat sederhana serta variasi
struktur kalimat yang lebih kompleks.
1.1 Sejarah
dan Penyebaran Bahasa Simolol
Bahasa
Simolol adalah salah satu bahasa daerah yang ada di Indonesia, tepatnya di
Provinsi Aceh, Kabupaten Simeulue. Bahasa Simolol merupakan bagian dari rumpun
bahasa Melayu-Polinesia, yang merupakan cabang dari rumpun bahasa Austronesia.
Beberapa literatur yang tercatat dalam jurnal Belanda dan Jerman, bahasa
Simolol pertama kali telah dipopulerkan oleh masyarakat penutur yang mendiami
Pulau Simaloer atau Simeulue bagian tengah.
Menurut
sejarahnya bahasa Simolol digunakan dan dituturkan oleh penduduk di Kerajaan
Simolol, yang sebelum kedatangan Islam dikenal dengan nama Kerajaan Inovalu,
yang dipimpin oleh seorang raja bernama Raja Beno (Bano) sekitar abad ke-13
(Rajasani, 1975). Kerajaan ini merupakan yang pertama dan tertua di Simeulue,
yang menganut kepercayaan animisme dan dinamisme (Datuk Nyak Sidih, 1975). Selain
itu, tulisan Louis Constant Westenenk setelah kunjungannya dari Pulau Simaloer (Simeulue)
yang dimuat dalam jurnal,- Tijdschrift van het Aardrijkskundig Genootschap,
(Januari 1904, hlm. 65) menjelaskan bahwa:
En toen Toean di Oedjong met zijne
vrouw Si Malōh op het eiland kwamen en proselieten maakten voor het
Mohammadaansch geloof, was de slechte Islamiet hierin een groote steun en
werden alle bewoners tot den Islam bekeerd. De plaats waar hij begraven ligt,
wordt hij Toean di Oedjong genoemd.) De slavin die haar land en hare
landgenooten redde en dooi men tot vrouw verheven was, gaf haren naam Si Malōh aan het eiland.
Terjemahan:
Dan ketika Tuan dari Ujung (Toean di
Oedjong) datang ke pulau itu bersama istrinya Si Malōh dan mengajak orang-orang
untuk memeluk agama Muhammad (Islam), Agama Islam justru menjadi pendukung
besar dalam hal ini, dan seluruh penduduk kemudian masuk Islam. Tempat di mana
ia dimakamkan disebut sebagai tempat Tuan dari Ujung. Budak perempuan yang
telah menyelamatkan negerinya dan sesama bangsanya itu, kemudian diangkat
menjadi istrinya, dan namanya, Si Malōh, diberikan kepada pulau itu.
Catatan
L.C. Westenenk sebelumnya, sejalan dengan tulisan H. T. Damstɛ yang dimuat dalam artikel jurnal Simaloeresche
Texten Bijdragen Deel hlm. 71 (1916) yang menyebutkan bahwa:
“Het eiland Simaloer "En Simeuloee
(Atj.), Simaloer (Maleische), of inlandsche: Simoeloel. In de landstaal heet
het ‘Simoeloel’.”
Terjemahan:
“Pulau Simaloer, yaitu Simeuloee dalam bahasa Aceh, Simaloer dalam bahasa Melayu, atau dalam bahasa asli: Simoeloel. Dalam bahasa negeri (yakni bahasa asli penduduk setempat) disebut 'Simoeloel'.”
Penjelasan
Damste di atas disebutkan bahwa nama Pulau Simeulue awalnya memiliki beragam
sebutan berdasarkan bahasa yang digunakan. Dalam bahasa Aceh, pulau ini disebut
Simeuloee. Bahasa Belanda dan Melayu, pulau ini disebut Simaloer.
Sementara itu, dalam bahasa asli penduduk setempat, nama pulau tersebut adalah Simaloeh,
dan bahasa yang digunakan dilafalkan sebagai Simolol.
%20(1).jpg)
إرسال تعليق